A. Pendahuluan
Berbicara tentang pencampuran deposit investasi dalam perspektif fikih Islam, berarti
membicarakan tentang simpanan pihak ketiga (baik perseorangan atau badan hukum)
sebagai deposan kepada Bank Islam dalam bentuk mudharabah. Dalam buku-buku fikih klasik mudharabah dibicarakan
dalam persoalan musyawarah, karena pada dasarnya mudharabah Al-Bahuti, 1982: 507 (Ibn Qudammah, 5, 1992: 136) dikategorikan sebagai salah satu
bentuk musyawarah. Namun, para ahli fikih meletakkan pembicaraan mudharabah dalam posisi yang khusus dan memberikan landasan hukum tersendiri.
Deposito mudharabah diartikan
sebagai suatu bentuk simpanan kepada Bank Islam sebagai mudharib berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan kesepakatan
yang telah disetujui dan penarikannya dapat dilakukan pada setiap saat atau
beberapa kali sesuai dengan perjanjian. Berbeda halnya dengan apa yang dikenal pada Bank
Konvensional, di mana deposito dianggap sebagai simpanan para deposan yang
mempunyai kelebihan uang yang tidak dikonsumtif atau tidak dipergunakan kepada bank dengan perhitungan
bunga tertentu. Lama masa penyimpanan ditentukan waktunya dan tinggi rendahnya
bunga ditentukan oleh jangka waktu penyimpanan, makin lama waktu yang
diinginkan semakin tinggi pula bunganya.
Pada dasarnya deposito yang dikenal dalam sistem perbankan Islam adalah
tabungan mudharabah yang penarikannya
dapat dilakukan dalam waktu tertentu sesuai kesepakatan dengan mendapatkan
imbalan bagi hasil dalam bentuk
pembagian pendapatan atas penggunaan dana tersebut secara syariah, dengan
proporsi pembagian antara shahib al-maal (deposan) dan mudharib
(depositaris). Misalnya 70% untuk deposan dan 30% untuk depositaris (Perwataatamadja
& Antonio 1993: 20-21). Dalam hal ini deposan sebagai pihak ketiga tidak
bertanggung jawab atas kemungkinan resiko yang mungkin dialami depositaris,
karena ia tidak membiayai langsung dan keseluruhan usaha yang dilakukan oleh
depositaris, sebagaimana dalam bentuk investasi.
Adapun investasi mudharabah,
bukan sebagai simpanan dari pihak ketiga, tetapi merupakan suatu transaksi
dalam bentuk perjanjian antara pemilik
modal dan pengusaha. Di mana pemilik modal bertindak sebagai penyandang seluruh
dana yang diperlukan dan pihak pengusaha melakukan pengelolaan dana tersebut
dalam menggerakkan suatu usaha. Hal itu sesuai dengan prinsip mudharabah. Menurut Ibn Mufith, yaitu
penyerahan harta (dana) tertentu kepada orang yang memperdagangkannya
(mengelolanya) sebagai pekerja dengan pembagian keuntungan atas kesepakatan
(Ibn Mufith, 1967: 378-379) (Lihat juga Ibnu Jinzayi, 1974: 309). Para imam madzhab juga
sepakat mengatakan bahwa dalam mudharabah
kedudukan ‘amil (pekerja) adalah sebagai wakil dari shahib al-maal dan
berposisi sebagai pemegang titipan terhadap barang yang ada di tangannya. Untuk itu,
ia harus mengelolanya sesuai dengan izin pemiliknya. (Zuhalli, 4, 1989: 854).
Dalam investasi mudhrabah, hasil
usaha bersama antara shahib al-maal dan ‘amil dibagi sesuai dengan
“nisbah” yang telah disepakati sewaktu
mengadakan perjanjian. Selama kerugian
yang mungkin dialami dalam suatu mudharabah bukan disebabkan penyelewangan dari
kesepakatan, tetapi betul-betul resiko dari suatu usaha, maka ‘amil tidak bertanggung jawab atas
kerugian itu dan ‘amil hanya akan
kerugian tenaga dan managerial sekaligus akan kehilangan nisbah keuntungan yang
telah disepakati. Dengan kata lain, kerugian menjadi tanggung jawab shahib al-maal dan ia tidak berkewajiban membayar upah kerja si ‘amil.
Dengan demikian jelaslah perbedaan deposito mudharabah sebagai simpanan yang tidak memiliki resiko kerugian
atau kehilangan modal dengan investasi mudharabah,
d imana shahib al-maal menanggung resiko kerugian jika usaha yang dijalankan si ‘amil tidak berhasil. Dari hal itu timbul
pertanyaan “bagaimana pandangan fuqaha tentang hukum percampuran deposito dan
investasi”? Dalam tulisan ini dengan segala keterbatasannya mengungkapkan masalah tersebut dari
perspektif fikih Islam. Mengingat deposito dan investasi berada dalam ruang lingkup mudharabah, maka pembahasan berikutnya
dilakukan pada permasalahan mudharabah.
B. Percampuran Deposito
Investasi
Secara umum istlah deposito adalah sebuah nama yang diberikan pada simpanan
deposan di Bank yang lazim dilekatkan pada persyaratan jangka waktu
penyimpanan. Dalam sistem perbankan Islam deposito disebut tabungan mudharabah, merupakan simpanan pihak ketiga (perorangan atau badan
hukum) yang penarikannya pada waktu jatuh tempo dengan mendapatkan imbalan bagi
hasil (Perwaatmadja, Antonio, 1993: 20 ). Sedangkan investasi, berarti menanam,
menginvestasikan uang atau capital. (Echols Shadily, 1984: 330). Dalam praktek investasi
mudharabah adalah transaksi yang
dilakukan shahib al-maal sebagai penyandang dana dengan ‘amil
sebagai pengelola dengan nisbah penghasilan yang disepakati ‘amil dalam mengelola dana yang
diinvestasikan shahib al-mal terikat
dengan hak dan kewajiban. Di antara hak ‘amil ialah uang
belanja dari mudharabah (Zuhalli,
1989: 864).
Kemudian ‘amil mendapat
keuntungan dari mudharabah-nya. Jika dalam mudharabah itu mengalami keuntungan, ‘amil tidak mendapatkan apa-apa dari mudharabah-nya, jika tidak mendapat keuntungan, karena ia bekerja untuk dirinya, maka
tidak berhak untuk mendapat upah. (Zuhalli, 4, 1980: 867).
Konsekuensi dari hal itu, dalam suatu mudharabah, ‘amil tidak bertanggung jawab atas kerugian yang mungkin
terjadi di dalam kegiatan mudharabah-nya, selama kerugian itu
akibat dari kerugian bisnis itu sendiri, bukan akibat penyelewengan yang keluar
dari kesepakatan. (Zuhaili, 4, 1989: 887). Untuk itu ‘amil juga mempunyai kewajiban yang
tentunya tidak melakukan penyelewengan atau akibat kelalaian ‘amil
itu sendiri yang menyebabkan kerugian pada shahibul
maal.
Secara teoretis dalam sistem perbankan Islam terdapat perbedaan konsep antara deposito mudharabah dan investasi mudharabah dalam hal berikut :
1.
Deposito mudharabah sebagai tabungan pihak ketiga
yang bertindak sebagai shahib al-maal dan pihak Bank Islam sebagai mudharib.
Dalam hal ini deposan (penyimpan) tidak harus mengadakan perjanjian dengan
pihak bank untuk mengeluarkan
dana suatu proyek, misalnya deposan hanya menyimpan tanap mengetahui kemana dana itu dipergunakan oleh
pihak Bank. Sedangkan dalam investasi
berbentuk perjanjian antara shahib al-maal dengan ‘amil dan dalam hal ini
keseluruhan dana milik shahib al-maal.
2.
Dalam deposito, deposan
menyimpan uang dalam bentuk berbagai keuntungan, tanpa harus tahu apakah pihak
beruntung atau merugi. Hal itu terbukti dari adanya jatuh tempo pengambilan
kembali simpanan dan keuntungan, sedangkan dalam investasi pembagian keuntungan
tidak dikaitkan dengan jangka waktu tetapi dari hasil akhir antara pertimbangan
modal dan keadaan.
Secara yuridis antara deposito dan investasi berada pada suatu tatan hukum,
sama-sama dalam bentuk berbagi hasil dalam konsep mudharabah yang dibolehkan dalam syariat Islam. Ibn Quddman
mengatakan bahwa, hukum mudharabah sama dengan
hukum Asyirkah al-iman (Ibn Quddaman,
5, 1992: 129). Al-Zuhaili mengatakan bahwa, para imam mazhab sepakat dalam kebolehan mudharabah, berdasarkan petunjuk Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan
Qiyas. Al Zuhaili menunjuk Al Qur’an Surat Al Muzammil [73]: 20, Surat Al
Jumu’ah [62]: 10 dan Surat
Al-Baqarah [2]: 198. Ayat-ayat ini dengan keumumannya, kata Al Zuhaili berisikan kebebasan
berbuat dalam harta benda dengan mudharabah.
Al Zuhaili juga mengutip riwayat Ibn Abbas tentang Saidina Abbas Ibn Abd
Muthalib, jika ia memberikan dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni
lembah yang berbahaya atau membeli ternak yang berparu-paru basah. Jika mudharabah menyalahi persyaratan itu,
maka yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut. Hal itu telah
disampaikannya kepada Rasulullah SAW bersabda: ada tiga hal di dalamnya
terhadap keberkahan, menjual dengan bayaran secara angsuran (mudharabah) dan mencampurkan gandum
dengan tepung untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual (Zuhaili, 4,
1989: 858).
Ibn Qaddamah selain mengutip surat Al Muzammil ayat 20, juga mengutip
riwayat Ibn Khattab pernah memberikan harga anak yatim di Iraq kepada seseorang
untuk dijadikan mudharabah. Riwayat
lain juga menyebutkan bahwa Abdullah dan Ubaidillah putera Umar Ibn Khattab
dalam suatu perjalanan pulang ke Madina mendapat titipan uang dari Abu Musa Al
Asy’ari untuk disampaikan kepada Umar. Uang itu mereka gunakan untuk membeli
barang dagangan dan sesampainya di Madinah mereka jual dan beruntung penjualan diserahkan keseluruhannya. Tetapi kedua
puteranya menolak dan berkata: sekiranya barang-barang itu rusak, akan menjadi
tanggung jawab kami, lalu mengapa keuntungannya
bukan untuk kami? Seorang laki-laki lain berkata: Wahai Amir al-mukminin,
bagaimana kalau engkau jadikan hal itu sebagai qiradh? Umar berkata:
Sesungguhnya hal itu akan jadikan sebagai qiradh dan bagi mereka berdua separuh
dari keuntungannya. (Ibn Quddamah, 5, 1992 : 130).
Kebolehan mudharabah juga
didasarkan pada ijma’ seperti disebutkan bahwa sebagian
sahabat memberikan harta anak yatim sebagai mudharabah
dan hal itu tidak diingkari oleh seorangpun di antara sahabat lainnya.
(Zuhaili, 4, 1989: 834).
Mudharabah juga didasarkan kepada qiyas ata
musaqah, karena hajat manusia kepadanya. Sebab di antara manusia ada yang
kaya dan ada yang fakir dan terkadang ia punya harta, tetapi tidak mengerti cara
memperdagangkannya, sedangkan yang lain tidak punya harta tetapi mengerti
mengelola dan memperdagangkannya. Maka penetapan hal ini dalam syariat dengan
membutuhkan mudharabah adalah untuk
merealisasikan kebutuhan kedua kelompok tersebut dan Allah tidak mensyariatkan
suatu akad kecuali untuk kemaslatan
hamba-hamba-Nya dan untuk memenuhi kebutuhan mereka. (Zulhaili, 4, 1989: 839).
Al Jaziri dalam uraiannya tentang dalil dan hikmah disyariatkannya
mudharabah menyatakan bahwa kebolehan mudharabah berdasarkan Ijma’
Ulama.
Sesungguhnya ulama-ulama Islam sepakat tentang kebolehan mudharabah
sebagai salah satu cabang muamalah dan tidak seorangpun
yang berbeda pendapat tentang hal itu. Mudharabah
telah dikenal sejak masa Jahiliah, kemudian diakui oleh Islam, karena di
dalamnya ada kemaslahatan. (Al Jaziri, 2, 1982: 48).
Al Jaziri juga mengatakan bahwa praktek muqaradhah (mudharabah) yang
pertama kali dalam Islam adalah muqaradhah yang dilakukan oleh Umar Ibn Khattab dan dua puteranya
Abdullah dan Ubaidillah. (Al Jaziri, 2, 1982: 49). Kisahnya seperti apa yang
telah diuraikan pada uraian sebelumnya.
Al Sayid Sabiq mengatakan bahwa mudharabah
sebagai sesuatu yang dibolehkan berdasarkan Ijma’.
Sesungguhnya Rasulullah Saw. telah melakukan mudharabah
dengan Khadijah dengan membawa harta dagangan ke Syam sebelum ia diutus menjadi
Rasul. Dan mudharabah itu sebagai
salah satu muamalah di zaman jahiliah dan kemudian diakui oleh Islam. Sayid
juga mengutip ucapan Ibn Hajar yang menyatakan bahwa mudharabah itu sudah ada pada masa hidup nabi Muhammad SAW, beliau
mengajarkannya dan mengakuinya dan kalau bukan demikian, tentu tidak dibolehkan
semata-mata. Sabiq juga mengemukakan riwayat yang menjelaskan praktik mudharabah yang terjadi antara Umar Ibn Khatab dengan Abdullah dan
Ubaidillah dengan Abdullah dan Ubaidillah puteranya. (Sabiq, 3, 1983: 212).
Selanjutnya Sabiq menjelaskan tentang hikmah dibolehkan mudharabah dan berkata bahwa Islam telah mensyariatkan dan telah
membolehkannya sebagai suatu kemudahan bagi manusia. Karena terkadang-kadang
ada orang yang memiliki harta, tetapi tidak mampu mengembangkannya dan
sebaliknya ada yang tidak mempunyai harta tetapi mampu mengembankannya. Untuk
itu syara’ membolehkannya, karena ada manfaat bagi kedua kelompok tersebut.
Pemilik harta mendapat manfaat dengan adanya usaha mudharib dan mudharib
juga mendapat manfaat dengan adanya harta. Hal itu akan dapat mewujudkan tolong
menolong antar shahib al-maal dan ‘amil dan Allah tidak
mensyariatkan suatu akad kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan dan untuk memenuhi kebutuhan
manusia. (Sabiq, 3, 1983: 213).
Qalyubi dan ‘Umairah dalam penjelasan tentang mudharabah selain
mengemukakan rukun mudharabah juga menyebutkan dalil mudharabah adalah
Ijma’
dan Qiyas. Dalam hal ini mereka
seperti Al Mawardi tidak mendasarkan pada Surat Al Baqarah [2]: 198, karena ayat itu
menyangkut dengan sekelompok muslim yang merasa berdosa melakukan perdagangan
di musim haji, juga tidak mendasarkan kepada mudharabah antara Nabi Muhammad Saw. dengan Khadijah r.a ketika ia berdagang bersama
pembantunya Maisarah, karena hal itu dilakukan 2 bulan menjelang pernikahannya
waktu beliau berumur 25 tahun. Diantara beberapa hal yang menyebabkan kedua
alasan tersebut tidak dapat dijadikan sebagai dalil, yaitu keumuman lafaz ayat
Al Qur’an dan Rasul sendiri mengakui mudharabah
itu setelah bi’tsah. Disebutkan juga bahwa apa yang dilakukan beliau bukan
sebagai muqaradhah, karena Khadijah
tidak menyerahkan harta kepadanya, tetapi sekadar memberi izin untuk berniaga dan posisi Nabi
Muhammad hanya sebagai wakil dari Khadijah. (Sabiq, 3, 1983: 213).
Qalyubi dan ‘Umairah dalam penjelasan tentang mudharabah selain
mengemukakan rukun mudharabah juga menyebutkan dalil mudharabah adalah
Ijma’ dan Qiyas. Dalam hal ini mereka seperti Al Mawardi tidak
mendasarkan
pada Surat Al Baqarah [2]: 198, karena ayat itu, menyangkut dengan sekelompok Muslim yang merasa berdosa
melakukan perdaganan di musim haji, juga tidak mendasarkan kepada mudharabah antara Nabi Muhammad Saw. dengan Khadijaha r.a
ketika ia berdagang bersama pembantunya Maisarah, karena hal itu dilakukan 2
bulan menjelan pernikahannya waktu beliau berumur 25 tahun. Di antara beberapa hal yang
menyebabkan kedua alasan tersebut tidak dapat dijadikan sebagai dalil, yaitu
keumuman lafaz ayat Al-Qur’an dan Rasul sendiri mengakui mudharabah itu setelah bi’tsah.
Disebutkan juga bahwa apa yang dilakukan beliau bukan sebagai muqaradhah,
karena Khadijah tidak menyerahkan harta kepadanya, tetapi sekadar memberi izin untuk
berniaga dan posisi Nabi Muhammad hanya sebagai wakil dari Khadijah. (Qalyubi,
Umairah, 2 tt: 51- 52).
Dari ungkapan-ungkapan di atas dapat dipahami bahwa secara keseluruhan
ulama berpendapat bahwa mudharabah dibolehkan
dalam pandangan syariat. Ulama hanya
berbeda pendapat tentang dasar kebolehannya. Namun, yang jelas praktek
mudharabah sudah ada sebelum Islam dan kemudian dikukuhkan dan diakui
keberadaannya oleh Islam.
C. Penutup
Dengan mempelajari berbagai ungkapan dan pendapat di atas dapat dipahami
bahwa tabungan deposito mudharabah
merupakan bagian dari mudharabah itu
sendiri yang meruapakan kerjasama antara deposan dengan Bank sebagai mudharib.
Selama keuntungan yang diterima oleh deposan meruapakan hasil dari apa yang
dikerjakan oleh ‘amil (Bank) sesuai
dengan prinsip mudharabah, dianggap
sebagai sesuatu yang halal. Demikian juga halnya dengan investasi mudharabah yang dilakukan atas kesepakatan rabal-mal dengan mudharib
dapat dibenarkan dalam pandangan syara’.
Nampaknya antara deposito dan investasi hanya berbeda pada bentuk dan pembagian
keuntungan, bukan pada persyaratan pokok tentang mudharabah itu sendiri.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Al Bahuti, Manshur Ibn Yusuf Ibn Idris, Kassyaf
al-qina ‘al Mata al-Iqma , juz 3 Ta’liq Hilal Mushailihi Musthafa Hilal, Dar
al-Fikr, Beirut, 1962
A, Firnathi, Muhammad Ibn Ahmad Ibn Juzai (Al Maliki) Qawarin
al Ahkam al Syariah wa masail al-Fiqhiah, Dar al ilm Lilmalayin, Beirut 1974
Al Jaziri, Abdularrahman, Kitab al fiqh ‘ala Madzaib
al-arba’ah, juz 2, Dar al Fikr, Beirut, 1962
Al Zuhaili, Wahbah, Al Fiqh al-Islami wa Adilatih, juz
4 Dar al fikr, Beirut 1984
Anwari, Ahmad, Praktek Perbankan di Indonesi ,
(Depositor berjangka) , Balai Aksara, Cet II, Jakarta, 1963
Echols John M dan Hasan Shdily, Kamus
Inggris-Indonesia, Gramedia, Cet XIII, Jakarta, 1964
Ibn Muuflih,
Abi Abdilah Muhammad, Kitab al-furu juz 4 ‘alim al-kutub, Mesir 1967
Ibn quddamah, Abi Muhammad Abdullah Ibn Ahmad, Al
Mughni wa al-Syarh al-Kahir juz 5, Dar al-Fikr, Beirut, 1992
Purwataatmadja, Karnaen Muhammad Syafi’i Antonio, Apa
dan Bagaimana Bank Islam, Dana Bakti Wakaf, Cet II, Yogyakarta, 1993
Qulyubi dan ‘Umairah, Hasylata ‘ala Syarh Minhaj
al-Thalibin, (Al Nawawi, Dar al-Ahya al-Kutub al-Arabiah, Mesir tt
Saqib Sayid, Fiqh al-Sunnag, Juz 3, Dar al-Fikr, Beirut, 1983
Sumber
dari sini klik